DAELPOS.com – Ketua Lembaga Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sutrisno Lukito diduga menjadi korban kriminalisasi mafia tanah. Saat ini dirinya tengah menjadi terdakwa di Pengadilan Kota Tangerang.
Penetapan Tersangka terhadap Sutrisno Lukito ini adalah buntut dari dilaporkannya Djoko Sukamtono ke polisi oleh Idris selaku pemilik lahan dengan modus data palsu berupa surat kepala desa yang didapati hasil rekayasa sebagai sarat pengajuan sertifikasi kepemilikan tanah di badan pertanahan.
Dalam keterangannya usai sidang, Sutrisno mengaku dirinya adalah korban kriminalisasi yang dilakukan oleh Muanas Alaidid. Karena sebelum akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pihaknya pernah bertemu dengan Muanas di kantornya.
“Saya bersama kuasa hukum saat itu bertemu dikantornya Muanas. Dalam pertemuan yang dihadiri beberapa orang itu Muanas mengajak saya untuk berdamai,” katanya Sutrisno kepada wartawan, Senin (12/6).
“Dia (muanas) juga akan memberikan saya uang senilai Rp 3miliar asal saya memberikan surat tanah dan pihaknya akan segera mencabut laporan yang dilakukan oleh Idris,” sambung Sutrisno.
Dalam.kesempatan itu Sutrisno juga membantah keterangan Muanas Alaidid yang menyatakan jika dirinya adalah orang tercela dan mengatasnamakan 3 organisasi islam yakni NU, Muhamadiyah dan MUI.
“Muanas mencoba memecah belah ormas islam. Saya berada di 3 ormas tersebut bukan meminta tapi ditawarkan sebagai pengurus,” tegasnya.
Karena itu dirinya juga menuntut Muanas untuk meminta maaf dan membersihkan namanya dengan menerbitkan permohonan maaf di media nasional selama 7 hari.
“Kalau ini tidak dilakukan maka saya akan tuntut secara pidana maupun perdata,” jelasnya.
Di lokasi yang sama, kuasa hukum Sutrisno Lukito, Tomson Situmeang menjelaskan dalam sidang yang berjalan siang tadi, pihak jaksa menghadirkan 3 saksi.
Saksi perdana yang dihadirkan adalah Idris yang merupakan pelapor dan mengaku pemilik tanah seluas 1.5 Hektar dengan surat girik yang dimilikinya yang bernomor 727 di Kampung Dadap Kota Tangerang.
Dalam keterangannya, Saksi pelapor mengatakan jika pada tahun 1982 tanah tersebut diserahkan orang tua kepada dirinya dan surat sudah terbentuk atas namanya sendiri. Saksi juga mengatakan jika tanah tersebut masih berbentuk empang.
“Padahal girik itu tak bisa diterbitkan orang tua namun diterbitkan oleh desa atau kelurahan dan perlu dicatat tahun 1982 sudah tidak ada penerbitan girik, karna sudah ada UU Agraria nomor 60 dan PP 61. Setelah itu tidak boleh lagi terbit girik namun sertifikat. Kemudian perubahan girik yang lama dengan uu agraria tahun 1983 menjadi Ipeda dan 1985-1986 menjadi surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) atau Pajak Bumi Bangunan (PBB),” jelasnya.
Dilanjutkan Tomson, Dalam kesaksiannya saksi pelapor juga mengaku mengisi empang tersebut dengan ikan bandeng sebanyak 500 ton dimana dia membeli bibit senilai Rp 15ribu/kg.
“Saya menyangsikan keterangan saksi pelapor. Dia menyebut menanam bandeng di empangnya sebanyak 500 ton dengan harga perkilo 15 ribu. Hal itu senilai hampir Rp 1.2 Miliar,” jelas Tomson.
Tomson juga menuturkan keterangan Idris dalam persidangan juga berbeda dengan keterangan yang diberikan dalam BAP salah satunya adalah perihal keberadaan Indra.
“Dalam BAP nama Indra tidak disebutkan. Lalu dipersidangan muncul nama Indra. Namun nama indra tak pernah diperiksa oleh polisi ini kan aneh. Banyak hal tidak sinkron yang diucapkan oleh saksi pelapor,” tutup Tomson.
Sidang sendiri akhirnya ditunda Kamis (15/6) dengan jadwal pemeriksaan 2 saksi yang belum diperiksa oleh majelis.