Kasus Suap PAW PDIP
DAELPOS.com – Penanganan kasus suap yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politisi PDI Perjuangan dinilai menjadi bukti revisi terhadap UU KPK telah membuat lembaga anti rasuah melemah. Terbukti, KPK kini kehilangan taji.
“Kondisi terkini terkait KPK dan pemberantasan korupsi semakin suram. Apa yang menjadi kekhawatiran sejak lama tentang akan makin lemahnya KPK setelah revisi UU mulai terbukti,” kata Direktur Center for Media and Democracy (LP3ES), Wijayanto, Ph.D,. dalam diskusi online di Grup Whatsapp Jurnalisme dan Demokrasi dengan tema “Politik Hukum dan Hukum Politik KPK”, Minggu (19/1/2020).
Dia mengatakan pengumuman rencana penggeledahan kantor DPP PDIP sepekan sebelum dilakukannya penggeledahan yang kemudian menjadi headline di berbagai media adalah kenyataan yang ironis dan menggelikan.
“Bagaimana mungkin akan berjalan pemeriksaan yang menghasilkan bukti jika sudah diumumkan sebelumnya? Satu minggu tentu cukup untuk menyembunyikan bukti-bukti yang penting,” ungkap Wijayanto.
“Sangat penting rencana penggeledahan dirahasiakan, jangan sampai bocor kepada satu pihak pun. Tapi ini malah dimumkan kepada media. KPK tak ubahnya seperti rombongan srimulat. Mau menggeledah pakai woro-woro dulu. Jauh-jauh hari pula,” tambahnya.
Ia melanjutkan, penundaan penggeledahan kantor DPP PDIP karena belum ada ijin dari Dewas membuktikan bahwa Dewas yang keberadaannya diamanatkan UU KPK hasil revisi terbukti justru menjadi penghalang pemberantasan korupsi.
“Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada Dewan Pengawas, mereka harus mulai berhitung dengan waktu. Jika sampai 3 bulan ke depan ternyata memang hanya memperlambat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, maka demi menjaga integritas dan nama baik mereka sendiri lebih baik mengundurkan diri,” imbau dia.
Dalam pernyataannya Wijayanto juga menyinggung Ketua KPK Firli Bahuri yang sejak awal komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dipertanyakan. Firli tidak hanya dinyatakan memiliki masalah kode etik saat menjabat Direktur Penindakan namun juga dianggap terlalu dekat dengan PDIP.
“Waktu itu Firli membantah semua tuduhan itu. Namun lambannya KPK dalam melanjutkan penyidikan terhadap kader PDIP yang terjadi hari ini justru membuktikan kekhawatiran itu memang beralasan,”imbuh dia.
Kesuraman pemberantasan korupsi berkaca dari kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP yang menjerat Wahyu Setiawan dan sejumlah kader PDIP, masih kata Wijayanto, diperburuk dengan ulah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Yasonna yang harusnya sadar kalau dirinya seorang menteri, justru menjadi tim kuasa hukum banteng moncong putih.
“Keberadaan dia (Yasonna) dalam tim hukum PDIP membuat kita bertanya tentang komitmen dan etika politiknya sebagai menteri. Jika ingin menjadi tim kuasa hukum PDIP mestinya mengundurkan diri dari posisi menteri. Dia harus keluar dari loyalitas sempit kepada partai,” tutur dia.
Sebagai Menhkumham, tugas Yasonna adalah mendorong penegakan hukum terjadi tanpa pandang bulu. Termasuk jika yang diduga menjadi pelakunya adalah rekannya di partai politik. Namun Wijatanto menyayangkan ulah Yasonna tersebut malah dibiarkan bahkan diamini oleh Presiden Jokowi.
“Sekali lagi, komitmen politik presiden dalam gerakan pemberantasan korupsi diuji. Dia harus menjadi panglima dalam gerakan pemberantasan korupsi. Pernyataan Presiden yang justru membiarkan menterinya menjadi tim hukum yang membela PDIP dengan dalih juga sebagai kader PDIP sangat mengecewakan. Di sini jelas terjadi konflik peran antara Yasona sebagai menteri dan sebagai pengurus partai,” beber dia.
Terakhir, Wijayanto menyinggung PDIP. KPK berdiri pada tahun 2002 pada saat Presiden Megawati, namun menjadi ironis pelemahan KPK justru diorkestrasi oleh PDIP. Mengapa PDIP yang mengorkestrasinya?
“KPK menjadi demikian lemah karena ada kolaborasi antara DPR dan Istana. Dan di kedua tempat itu, PDIP lah penguasanya. Di DPR PDIP adalah salahs atu inisiator revisi UU. Di Istana, Presiden Jokowi adalah kader PDIP yang oleh Megawati bahkan pernah disebut sebagai petugas partai,” demikian kata Wijayanto.[]