oleh @mardanialisera
DAELPOS.com – Tahun ini pemerintah berencana melakukan peletakan batu pertama Istana Presiden jika RUU Ibu Kota Negara (IKN) selesai. Pemindahan IKN bukan lah prioritas negara saat ini. Setelah Covid-19 mestinya kita semakin tahu bahwa ide tersebur sudah tidak relevan lagi. Etiskah rencana ini?
Fokuskan energi untuk mengatasi pandemi mulai dari kesehatan sampai ekonomi. Sebaiknya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) lebih banyak diarahkan untuk menstimulasi sektor UMKM, mengingat sektor tersebut yang selama ini menopang ekonomi nasional dan menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Sampai saat ini, pandemi masih belum bisa dikendalikan dan APBN masih sangat terbatas. Salah satunya terlihat dari adanya wacana pemotongan insentif tenaga Kesehatan oleh pemerintah walaupun akhirnya tidak dilakukan karena mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Jika melihat kondisi keuangan negara, jelas masih memerlukan tambahan anggaran dalam jumlah besar untuk pembiayaan berbagai program darurat akibat Covid-19. Catatan Kemenkeu, penerimaan dari APBN 2020 turun hampir 20%. Sementara belanja naik lebih dari 500 triliun. Kita lihat, kenaikan belanja yang luar biasa untuk ekonomi dan kesehatan masyarakat akibat pandemi jelas berujung pada defisit fiskal.
Per akhir November (Kemenkeu), penerimaan negara hanya berkisar 1.423 triliun, belanja negara 2.306 triliun. APBN 2020 pun defisit 883 triliun / 5,6% dr PDB. Pemindahan IKN diprediksi memakan anggaran hingga 400 triliun, jangan bebani APBN untuk kegiatan yang tak perlu
Lalu terapkan strategi yang tepat, lupakan berbagai hal yang tidak penting untuk 5 tahun ke depan. Secara filosifis, Pemerintah dipilih secara demokratis salah satu tujuannya sebagai “Problem Solver” permasalahan bangsa.
Kebijakan pemindahan Ibu kota keliru karena berangkat dari permasalahan Ibu kota. Terlebih lokasi yang dipilih di Kalimantan Timur, Kawasan Hutan yang memiliki fungsi konservasi dan perlindungan ekosistem. Ada potensi menyebabkan Deforestasi yang kian larut jika dipaksakan
Mengingat Pulau Kalimantan termasuk Kaltim didalamnya, selama ini dikenal sebagai “paru-paru dunia” karena luasnya hutan tropis di pulau tersebut mencapai 40,8 juta ha, dimana Kaltim menyumbang 12,6 jt ha (31%) kawasan hutan didalamnya.
Covid-19 menyadarkan kita bahwa bangunan fisik bukan investasi yang menguntungkan. Orang-orang sudah terbiasa berkegiatan online, ke depan hrs memperhatikan aspek fleksibilitas. Pembangunan manusia lebih penting, apalah artinya ibu kota baru yang hebat tapi masyarakatnya rentan. Perlu dipikirkan model pembangunan Indonesia yang baru dengan pendekatan yang baru.