Oleh: Em Simabua
DAELPOS.com – Sekitar 1200 Kepala Keluarga (KK) dari empat dusun dengan luas areal sekitar 20.000 Ha di Wilayah Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau, terus berjuang untuk mendapatkan hak sebagaimana umumnya warga negara Indonesia yang berdomisili di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keempat dusun tersebut berlokasi di tiga desa di Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Kuantan Sengingi, Riau, masing masing dusun III dan IV masuk wilayah Desa Sungai Besar, satu dusun di Desa Sungai Besar Hilir dan satu dusun lainnya di Desa Perhentian Sungkai.
Perjuangan tidak henti dilakukan itu adalah untuk mendapatkan hak atas lahan yang mereka peroleh dengan membeli secara resmi dari masyarakat di tiga desa di atas dengan persetujuan dan ditandatangani pemangku adat, para saksi termasuk tanda tangan dan stempel resmi oleh pejabat kepala desa setempat.
Salah seorang tokoh masyarakat di Dusun III dan IV Tikam Gajah, Desa Sungai Besar, Abdul Halim (72 tahun) kepada daelpos mengatakan, upaya memperjuangkan hak atas status lahan yang sekarang dimiliki oleh warga masyarakat yang terdiri dari masyarakat setempat dan warga pendatang dari berbagai daerah di Tanah Air ini sudah dilakukan sejak tahun 2016.
“Kami sudah mendatangi Bupati Kuantan Sengingi, Dinas Kehutanan. Termasuk menyampaikan aspirasi kepada calon anggota Dewan Provinsi Riau, tapi belum mendapatkan jawaban. Meski demikian kita tidak putus asa, tujuan kita hanya satu, kita mengharapkan pemerintah pusat ikut turun tangan dengan memberikan solusi terbaik kepada masyarakat kami yang sejak lama berjuang melalui permohonan ini,” kata Abdul Halim.
Ditambahkan Abdul Halim, tempat dimana mereka hidup dan berdomisili sekarang merupakan “tanah harapan” yang akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan mereka sebagai kepala keluarga, anak, menantu dan cucu dikemudian hari.
Dijelaskan, dimaksud dengan “Tanah harapan” karena di daerah itulah mereka hidup dan berusaha di lahan hasil pembelian dalam jumlah terbatas sebagai petani sejak tahun 2005 lalu.
“Masyarakat kami sangat majemuk, datang dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. Ada dari Kalimantan, Madura, Sulawesi, Maluku, Bali, Sumatera,” lanjut Abdul Halim yang mengaku berasal dari daerah Bagan Batu, Riau.
Ditanya soal permohonan hak yang diperjuangkan masyarakat empat dusun ini sampai sekarang belum dipenuhi pemerintah, Abdul Halim mengaku tidak tahu persis alasannya.
“Hal ini lah yang kami tidak tahu pasti, karena saat kami membeli lahan dari masyarakat setempat, katanya status lahan tersebut adalah tanah milik ulayat adat mereka secara turun temurun. Dan pada saat kami membelipun, penjual dan saksi mengakui itu tanah milik mereka bahkan diperkuat dan diakui para pemangku adat setempat. Pada saat jual beli, surat menyurat dan hasil ukur ditandatangani oleh Kepala Desa berikut stempelnya. Apa itu tidak kami percaya,” katanya seperti bertanya.
Bagi kami, ujar Abdul Halim, jika kehadiran mereka ada yang menyebut sebagai “pendatang haram” ataupun berbagai istilah yang diberikan, buktinya secara administrasi surat menyurat dari desa dan kecamatan, bahkan sampai Kabupaten dan provinsi Riau dapat mereka lakukan. Tidak itu saja, sebanyak 1200 KK itu sudah merupakan KK resmi yang dikeluarkan di wilayah Kecamatan Pucuk Rantau tempat mereka berdomisili.
Tidak hanya itu, dijelaskan juga pada saat pemilihan anggota DPRD Kabupaten, Propinsi maupun Pusat dan pemilihan Presiden, masyarakat di empat dusun ini pun ikut memberikan hak pilih mereka.
“Hak kami sebagai warga negara Indonesia yang belum kami dapatkan saat ini adalah hak tentang kepastian hukum terhadap status lahan yang kami miliki selama ini. Kemudian fasilitas lain yang seharusnya disediakan oleh pemerintah sebagaimana layaknya, juga kami peroleh. Meskipun demikian, kamipun menyadari, bahwa semua ini harus diperjuangkan. Jadi kami tidak lantas berputus asa,” ujar Abdul Halim dibalik wajahnya yang sudah mulai tua seperti kelelahan.
Bukti bahwa masyarakat pendatang di empat dusun ini tidak berputus asa memperjuangkan hak dan nasib, secara guyup mereka saling bahu membahu dalam memenuhi kebutuhan termasuk membangun fasilitas untuk kebutuhan hidup dan kelancaran aktifitas sehari hari.
Melalui swadaya masyarakat, pendatang yang majemuk ini melengkapi berbagai kebutuhan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Intinya, mereka merasakan ” berat sama sama dipikul dan ringan sama sama dijinjing”.
Seperti disampaikan oleh Dulhadi, salah seorang pemuka masyarakat Dusun III dan IV lainnya yang ikut mendampingi Abdul Halim. Sampai sekarang di empat dusun ini dari segi fasilitas pendidikan sudah ada, minimal untuk anak anak.
“Untuk dusun III dan IV, Tikam Gajah, ada satu SMP Kelas Jauh, satu SD Kelas Jauh, satu TK PAUD dan satu madrasah (MDTA). Sedangkan rumah ibadah, ada dua mesjid dan tiga mushola. Juga ada rumah kesehatan berupa Posyandu,” kata Dulhadi menyambung keterangan Abdul Halim.
Bahkan, kata Dulhadi, dari sisi penguatan ekonomi masyarakat, sejak tahun 2015 di Dusun III dan IV ini berdiri Koperasi dengan nama Rantau Jaya yang sudah punya izin resmi dari Dinas Koperasi Kabupaten Kuantan Sengingi dan Akte Notaris, sampai sekarang sudah berjumlah 700 anggota.
Salah satu fasilitas yang diberikan ke anggota koperasi adalah pengadaan pupuk subsidi dan non subsidi, termasuk penyediaan herbisida.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, mereka juga membangun fasilitas pasar rakyat yang digelar pada setiap hari Rabu. Di pasar inilah kebutuhan dapur selama satu minggu mereka penuhi.
Untuk membuka isolasi dengan desa serta daerah lainnya, juga melalui swadaya masyarakat, mereka membangun sarana transportasi berupa jalan Poros sepanjang 40 Km dengan status masih jalan tanah.
Sementara di Dusun Sumber Sari Desa Perhentian Sungkai ada satu SD Kelas Jauh, satu TK PAUD, pasar rakyat dibuka setiap hari Minggu, dan satu mesjid dan satu mushola serta jalan Poros sepanjang 15 Km. Dan di dusun Sungai Besar Hilir sepanjang 20 km.
Berbicara tentang komoditi yang dihasilkan dari empat dusun ini, menurut Dulhadi sangat beragam. Pada umumnya petani menanam.sawit dan karet. Disamping itu juga ada tanaman holtikultura seperti jeruk manis yang sudah masuk ke pasar antar desa, kecamatan dan kabupaten.
Tanaman jeruk ini ada yang sudah berumur 10 tahun, 5 tahun. Dilihat dari buah jeruk yang dihasilkan, diperkirakan tanaman buah yang satu ini tersebar di lahan seluas 35- 40 hektar.
Tanaman hutan juga banyak, seperti jengkol dan petai. Pada musin panennya dua tanaman ini banyak dicari para pedagang dari Kabupaten maupun antar provinsi.
Ada juga pisang barangan yang berasal dari medan, juga banyak ditanam petani di empat dusun ini. Pembeli datang dan membawanya ke ibukota provinsi.Riau, Pekanbaru maupun kota kota besar lainnya.
“Kalau untuk tanaman sawit.maupun karet serta tanaman holtikultura petani umumnya masih menjual melalui penampung yang ada di dusun. Karena keterbatasan alat transportasi, rata rata kalaupun ada, masyarakat dusun memiliki sepeda motor.
Dilihat dari geografis, lokasi empat dusun ini dinilai cukup strategis, antara lain berbatasan dengan dua provinsi, yakni Sumatera Barat dan Jambi, serta satu Kabupaten, Indragiri Hilir, Riau. Hal ini dapat dimanfaatkan masyarakat tersebut memasarkan hasil komoditi mereka sesuai dengan prinsip ekonomi.
Bagi masyarakat yang membutuhkan surat ataupun urusan administrasi lainnya ke desa, jarak tempuh dari dusun ke desa sekitar 15 km. Jika ada keperluan ke Kecamatan berjarak sekitar 30 km dan jarak tempuh ke kabupaten Kuantan Sengingi sekitar 80 km..
Sementara itu Azwir (65 tahun) mengaku masuk ke dusun IV Desa Sungai Besar pada tahun 2010. Azwir terpaksa harus mencari “tanah harapan” ini karena kampung halamannya, Pariaman, provinsi Sumatera.Barat dilanda bencana alam gempa bumi tahun 2009.
“Rumah saya hancur, tanaman habis tertimbun tanah longsor. Fasilitas irigasi juga tidak berfungsi lagi, selama dua tahun setelah gempa masyarakat tidak bisa dapat melakukan aktifitas sehari hari. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di sana. Akhirnya kami mencoba nasib ke dusun ini dengan membeli lahan dari hasil bantuan yang kami terima,” kata Azwir di tempat terpisah.
Di dusun tersebut Azwir bersama 15 kepala keluarga dengan jumlah sekitar 75 jiwa korban bencana alam gempa bumi yang banyak memakan korban manusia.itu, membeli sebidang tanah dari masyarakat asli dari desa.Sungai Besar.
“Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah kami anak beranak kumpul di sini. Awalnya perjuangan saya cukup berat, karena lahan yang kami beli harus dibersihkan dulu, baru setelah itu ditanami sawit. Saya pilih sawit, karena dari segi perawatan dinilai tidak begitu sulit. Katanya yang terpenting jaga rutinitas perawatan,” sebut Azwir.
Tanaman sawit yang ditanam sejak tujuh tahun lalu itu, sekarang sudah mulai menghasilkan tandan buah segar (TBS). Meski hasil panen sawitnya diakui belum maksimal, namun Azwir tetap mensyukurinya.
“Inilah rezki yang diberikan Tuhan kepada saya dan keluarga, pastilah harus disyukuri,” tambahnya.
Meski demikian, Azwir mengaku masih menyimpan tanda tanya dan ganjalan di dalam hati, bagaimana nasib dia beserta keluarga ke depannya, karena lahan yang mereka beli secara resmi ini belum dapat ditingkatkan statusnya ke sertifikat hak milik.
“Saya tidak mengerti dan paham urusan status tanah ini, waktu itu saya beli berdasarkan tawaran yang disampaikan beberapa pihak, bahkan kalau saya tidak lupa ada juga dari pegawai negeri sipil yang ikut membeli. Saya pikir mungkin ini merupakan lahan yang memang diperuntukan bagi korban bencana alam gempa di kampung saya. Sehingga tanpa pikir panjang saya putuskan membelinya,” cerita Azwir.
Azwir mengaku bahwa hanya lahan di lokasi barunya inilah satu satunya harta yang masih ada. Selebihnya sudah habis dilanda bencana. Harapannya, Azwir meminta kepada pemerintah daerah provinsi Riau umumnya dan pemerintah pusat khususnya untuk dapat memenuhi permohonan warga masyarakat di empat dusun ini agar hak status lahan yang mereka beli dapat ditingkatkan menjadi Sertifikat Hak Milik. Termasuk menyediakan fasilitas lainnya untuk masyarakat umumnya.