DAELPOS.com – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Menag, menurut Hidayat mestinya menasehati Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim terkait Peraturan Mendikbudristek No. 30 Tahun 2021, tentang pencegahan dan penanganan kekerasaan seksual di perguruan tinggi, yang ditolak oleh banyak pihak, termasuk Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena substansinya bisa menggagalkan tujuan pendidikan Nasional, lantaran tidak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945, norma Agama, dan kepatutan sosial.
“Seharusnya Menag menasehati Mendikbudristek yang kembali membuat kebijakan yang mengabaikan Agama. Sebelumnya Kemendikbud juga membuat Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang ditolak public, karena tak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Akhirnya Peta Jalan tersebut ditarik oleh Kemendikbud. Kontroversi itu kini diulangi dengan keluarnya Permendikbudristek no 30/2021. Seperti Peta Jalan Pendidikan Nasional, juga tak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945 dan Agama. Dan seperti Peta Jalan Pendidikan Nasional, Permendikbudristek ini juga ditolak oleh masyarakat. Karena itu mestinya Menag menasehati Mendikbudristek agar mengkoreksi Permennya dengan menarik atau merevisi. Dan tidak mengulangi membuat Permen yang kontroversial. Agar tujuan Pendidikan Nasional dapat diwujudkan,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (10/11/2021).
Sebagaimana diberitakan sejumlah media yang merujuk pada laman resmi Kemenag, Menag Yaqut mendukung Menteri Nadiem dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Dan malah akan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag bagi perguruan tinggi keagamaan negeri di seluruh Indonesia.
“Sikap Menag itu wajar dikritisi. Kita prihatin terjadinya kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, dan kita sepakat untuk mencegah, dan mencari jalan untuk mengatasinya. Tetapi Permindikbud itu bermuatan ketentuan-ketentuan yang tidak efektif untuk mencegah dan mengatasi, karena hanya menyoal satu sisi “kekerasan seksual”, dan mengabaikan fakta “kejahatan seksual yang terjadi dengan tanpa kekerasan atau dengan sepersetujuan”, suatu kejahatan seksual yang banyak terjadi di Perguruan Tinggi, dengan korbannya dari kalangan Perempuan. Dengan demikian Permendikbudristek itu juga tak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pancasila, UUDNRI 1945 serta nilai-nilai Agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Dan ngotot memberlakukannya ditengah penolakan yang meluas, juga potensial memecah belah anak Bangsa,” ujarnya.
HNW sapan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan, Menag tentu mengetahui bahwa dalam beberapa hari terakhir muncul banyak penolakan terhadap Permendikbudristek No.30/2021. Kritik dan penolakan muncul dari kalangan kampus. Seperti, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian PP Muhammadiyah, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan juga 14 Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI). Penolakan juga datang dari Ketua Ikatan Dokter Indonesia bersatu.
“Pimpinan Majelis Ulama Indonesia juga mengkritik dan menolak Permendikbudristek tersebut, agar dicabut atau direvisi, seperti yang disampaikan oleh Ketua Bidang Fatwa MUI KH Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wasekjend MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah dan Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis, Ph.D. Semua menilai aturan yang ada dalam Permendibudristek terutama Pasal 5 ayat (2) bermuatan ketentuan-ketentuan yang bermasalah terkait frasa ‘tanpa persetujuan,’”ujarnya.
Banyak pihak kata HNW mempersoalkan frasa “bila itu terjadi dengan tidak sepersetujuan” (sexual consent) yang dapat diartikan bahwa bila “sepersetujuan” maka sekalipun perbuatan seksual tersebut menyimpang atau asusila seperti perzinahan, seks bebas, seks di luar nikah, oleh Permendibudristek ini dianggap bukan suatu persoalan yang harus dicegah dan ditangani. Sekalipun perbuatan seksual itu tidak sesuai dengan Pancasila, agama, hukum, norma sosial dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia.
HNW mengingatkan, tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945 sangat menghormati agama dan mementingkan nilai-nilai agama. Seperti, iman, taqwa, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, “Permendikbudristek ini secara tidak langsung menjadi payung aturan untuk tidak mempermasalahkan seks bebas, perzinahan, maupun hubungan seksual lain di Perguruan Tinggi. Sekalipun itu dilarang oleh Agama, hukum dan tak sesuai dengan norma sosial di Indonesia, selama hubungan seksual itu terjadi tanpa kekerasan dan atau terjadi dengan persetujuan (suka sama suka),” ujarnya.
Demi bisa terwujudnya tujuan pendidikan nasional dan ketaatan pada Sila pertama Pancasila, semestinya Kementerian Agama menjadi rujukan dan keteladanan. Termasuk dalam produk legislasi dan aturan yang diedarkan ke sekolah maupun perguruan tinggi keagamaan. Bukan justru mendukung aturan yang bermasalah seperti Permendikbudristek itu.
“Semestinya Menag menasehati Mendikbud terkait permendikbudristek yang kontroversial itu. Apalagi kritikan dan penolakan itu terkait dengan konten yang terhubung dengan diabaikannya ajaran Agama. Sewajarnya Kemenag ikhlas berlaku moderat dan inklusif, mendengarkan kritik dan penolakan-penolakan itu, kemudian berkonsultasi/bermusyawarah dengan lembaga-lembaga otoritatif. Bukan malah mendukung tanpa reserve, dan mengabaikan kritik serta penolakan meluas yang rasional, argumentatif dan konstitusional,” jelasnya.
Padahal, lanjut HNW, kritik dan penolakan yang disampaikan juga berangkat dari keprihatinan yang sama. Yaitu, koreksi terhadap kejahatan seksual termasuk kekerasan seksual. Bahkan kritik dan penolakan itu menyertakan solusi, agar peraturan Menteri itu dapat efektif, tidak kontroversi dan menuai penolakan luas, agar kejahatan seksual baik dengan kekerasan atau tidak, dengan persetujuan atau tidak, di Perguruan Tinggi maupun lainnya, dapat dikoreksi dengan Permendibudristek baru (hasil revisi), yang bisa dilaksanakan dengan tanpa kontroversi, karena kesesuaiannya dengan Pancasila, UUD, Agama dan hukum serta norma sosial yang berlaku umum di Indonesia.
“Agar permen itu bisa bersatu bersama keprihatinan publik, dan tujuan pendidikan nasional dapat diwujudkan, dengan bisa dicegah dan diatasinya kejahatan dan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi maupun jenjang pendidikan lainnya, untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sangat menghormati Agama dan nilai-nilai keagamaan, sebagaimana diatur oleh pasal 31 ayat 3 dan 5 UUDNRI 1945,” pungkas HNW.