DAELPOS.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian alias TA, Senin (14/6). Penahanan dilakukan setelah lembaga antirasuah tersebut melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan.
TA sebelumnya disangkakan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah di Munjul Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, DKI Jakarta tahun 2019.
“Untuk kepentingan proses penyidikan, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan pada tersangka TA (Tommy Adrian) selama 20 hari pertama terhitung mulai 14 Juni 2021 sampai dengan 3 Juli 2021 di Rutan KPK Gedung Merah Putih,” kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat melakukan konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (14/6).
Sebelumnya, TA akan diisolasi mandiri terlebih dulu selama 14 hari di Rutan KPK Kavling C1 sebagai langkah antisipatif penyebaran Covid-19 di lingkungan rutan.
Kasus ini telah menyedot perhatian publik ibukota yang saat ini di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Anies Baswedan.
KPK telah menetapkan 4 tersangka, yaitu Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles (YRC), Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene (AR), Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian (TA), dan atas nama korporasi PT Adonara Propertindo (AP).
Selain itu,KPK menetapkan 1 tersangka lagi, yaitu Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudy Hartono Iskandar alias RHI. Namun, tersangka RHI belum bisa dipanggil dengan alasan sakit.
“KPK mengimbau dan mengingatkan yang bersangkutan untuk kooperatif hadir pada penjadwalan pemanggilan ulang selanjutnya,” kata Lili.
Konstruksi Perkara
Plh Deputi Penindakan KPK Setyo Budiyanto membeberkan, bahwa dalam perkara ini, KPK menduga kerugian keuangan negara setidaknya sebesar Rp 152,5 miliar.
Kasus bermula ketika Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Provinsi DKI Jakarta, Perusahaan Daerah Pembangunan Sarana Jaya (PDPSJ) yang bergerak di bidang properti tanah dan bangunan mencari tanah di wilayah Jakarta yang akan dijadikan unit bisnis atau bank tanah.
Pada tanggal 4 Maret 2019 AR bersama-sama TA dan RHI menawarkan kepada PDPSJ sebidang tanah yang berlokasi di daerah Munjul, Pondok Rangon, Jaktim. Luas tanah tersebut kurang lebih 4,2 hektare. Akan tetapi saat itu kepemilikan tanah masih sepenuhnya milik Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus.
AR dan TA kemudian bertemu dengan Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus di Yogyakarta dan disepakati ada pembelian tanah di Munjul.
“Adapun harga kesepakatan AR, TA, dan RHI dengan pihak Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus seharga Rp2,5 juta per meter, sehingga jumlah total harga tersebut Rp104,8 miliar,” kata Setyo.
Pembelian tanah dilakukan pada 25 Maret 2019, di mana langsung dilakukan perikatan jual beli sekaligus pembayaran uang muka oleh AR dan TA sebesar Rp 5 miliar melalui rekening bank atas nama Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus.
Pelaksanaan serah terima Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan tanah girik dari pihak Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus dilakukan melalui notaris yang ditunjuk oleh AR.
AR, TA dan RHI lalu menawarkan tanah kepada PDPSJ dengan harga per meternya Rp7,5 juta dengan total Rp 315 miliar.
“Selanjutnya, diduga terjadi proses negosiasi fiktif dengan kesepakatan harga Rp 5,2 juta per meter dengan total Rp 217 miliar,” jelas Setyo.
Pada 8 April 2019 dilakukan penandatanganan pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di Kantor PDPSJ antara pihak pembeli yaitu YRC dengan pihak penjual, AR.
Dilakukanlah pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar sejumlah Rp 108,9 miliar ke rekening bank milik AR di Bank DKI.
Selang beberapa waktu atas perintah YRC dilakukan pembayaran oleh PDPSJ kepada AR sekitar Rp 43,5 miliar.
KPK juga menemukan dugaan penggunaan sejumlah uang oleh AR untuk kepentingan pribadi bersama pihak terkait lainnya, antara lain untuk pembelian tanah dan pembelian kendaraan mewah.
Sejauh ini tim penyidik KPK telah menerima pengembalian uang sejumlah Rp 10 miliar dari AR dan TA dan masih terus melakukan upaya “asset recovery” hasil tindak pidana korupsi tersebut.
Atas perbuatannya tersebut, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (it)