DAELPOS.com – Komite III DPD RI berjanji akan mengawal kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal tersebut tertuang dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
“Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh Oknum Kapolres Ngada NTT sangat memprihatinkan. Kami akan melakukan pengawalan atas proses hukumnya demi keadilan bagi anak,” ucap Wakil Ketua Komite III Dailami Firdaus di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (23/04/25).
Dailami menilai kekerasan terhadap anak merupakan masalah sosial yang serius di Indonesia. Bahkan, ribuan anak tercatat menjadi korban kekerasan di berbagai provinsi di Indonesia setiap tahunnya. “Kekerasan anak di Indonesia adalah masalah serius. Setiap tahun ribuan anak menjadi korban,” pungkasnya
Dailami juga menyinggung masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak di Indonesia. Dengan jumlah anak yang begitu besar, tentunya banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan perlindungan anak.
“Pada tahun 2024 misalnya, diperkirakan 19,20 persen anak di Indonesia tidak bersekolah. Terkait pengasuhan anak, ada sekitar 1,69 persen anak usia dini yang tercatat tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandungnya,” ujar senator asal Jakarta ini.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Provinsi Kalimantan Timur Aji Mirni Mawarni juga merasa miris terkait kasus LGBT anak yang kian marak di daerah pemilihannya. Di mana kasus ini sangat masif namun terjadi secara tersembunyi sehingga sulit dideteksinya. “Kasus LGBT yang korbannya anak sangat masif di Kaltim. Korbannya dibiayai hidup hedon jadi orang tuanya positif thinking. Ini bahaya sekali,” tukasnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kasus kekerasan seksual eks Kapolres Ngada yang bergulir sejak 24 Februari 2025. Salah satunya pemindahan korban untuk mendapatkan perlindungan yang lebih baik dan koordinasi antara berbagai pihak.
“Tiga anak korban masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun telah mendapat pendampingan psikososial yang diperlukan untuk mendukung proses pemulihan mereka. Kedua korban usia 16 dan 13 tahun saat ini telah dirujuk ke Rumah Harapan GMIT (Gereja Masehi Injil di Timor) untuk pendampingan psikososial dan agama setelah sebelumnya ditangani di shelter Kota Kupang,” terang Arifah.
Arifah melanjutkan korban usia 6 tahun telah mendapatkan layanan dari UPTD PPA Provinsi NTT dan proyeksi pemulihan psikologi korban kepada LPSK telah dikirimkan agar segera dapat diberikan perlindungan dan restitusi. “Terkait proses hukum, pelaku sudah ditahan dan prosesnya masih dalam proses lidik dan UPTD Provinsi NTT telah melakukan pendampingan pada korban untuk BAP tambahan,” tambahnya.